Kampus STT SAPPI

Kampus STT SAPPI

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 11 Mei 2014

Mitra Bisnis Saling Melengkapi

Bikin usaha bareng kudu saling melengkapi

 
Akhir-akhir ini, kata-kata koalisi sering dibicarakan. Terutama untuk mencari teman presiden dan wakilnya. Apakah wakilnya itu harus seilmu, seahli, seiman, seide, atau justru beda ilmunya, beda keahliannya, beda idenya, agar saling melengkapi?

Barangkali membangun negara tak ubahnya membangun usaha. Meski skalanya berbeda. Kalau usaha kecil skalanya, kalau negara atau pemerintahan sangat kompleks. Karena di sini membicarakan usaha, maka tentu tidak ada urusan dengan koalisi seperti halnya politik yang akhir-akhir ini sedang hangat.

Sebelum masuk ke permasalahan, suatu kali penulis melihat pengalaman rekan-rekan yang membangun usaha. Seperti diketahui, kebanyakan orang membangun usaha ada bermacam-macam. Ada yang dimulai dari diri sendiri semua. Baik keuangan, produk, dan pemasaran dilakukan sendiri, dan perusahaan itu miliknya sendiri 100%. Kita tidak membicarakan usaha yang dibangun secara mandiri dan single fighter seperti ini, tapi usaha yang dibangun bersama-sama.

Saat ini yang berkembang adalah usaha yang dibangun bersama-sama dengan teman. Yang kemudian disebut sebagai partner bisnis (partner usaha). Sebagian besar partner itu berasal dari teman akrab, yang dekat, dan memiliki minat yang sama terhadap suatu bidang usaha. Misalnya, usaha membuat restoran.

Dipastikan bahwa bila usaha seperti itu, maka semua partner harus memiliki pandangan dan minat atau passion yang sama terhadap kuliner. Sebab, dengan demikian, maka pikiran dan usaha yang dilakukan akan fokus di dunia perkulineran. Pembicaraan sehari-hari bersama teman, pasti akan menyangkut menu dan rasa.

Nah, karena berpikirnya permasalahan hanya soal menu, suatu hari saya menemukan sebuah tim yang membangun usaha bersama dengan minat yang sama. Dan, juga kemampuannya sama. Kalau dari konsepnya, sangat matang. Mereka terdiri dari empat orang. Canggih sekali menjelaskan mengenai menu pilihannya. Masakannya yang OK adalah seperti ini dan itu. Benar, ternyata hasilnya bagus.

Akan tetapi usaha itu berjalan hanya dalam waktu tiga tahun. Tahun pertama ramai, tahun kedua menurun, tahun ketiga ambruk. Setelah dipelajari, ternyata mereka sadar, bahwa mereka adalah teman akrab, yang saling tahu satu sama lain. Ini tentu baik dan tidak masalah. Namun, baru kemudian disadari bahwa mereka sama-sama merasa saling ahli di kuliner, sehingga untuk menentukan menu yang pas, semuanya berantem, berebut, dan tidak ada yang mau mengalah. Jadinya, menu mudah diganti, rasa sering dimodifikasi, juru masaknya bingung ikuti yang mana, dan konsumen yang sudah cocok dengan rasa sebelumnya, kecewa karena merasa rasa yang dia alami sudah berubah.

Itulah risiko kalau membuat usaha bersama dengan peminatan yang sama dan kepala yang sama. Apa yang terjadi kemudian, Anda tentu bisa bayangkan: bubar! Semestinya, bisa dibedakan, apakah Anda cukup berteman baik dengan orang-orang yang memiliki minat yang sama, atau harus diwujudkan dengan bekerjasama atau berkoalisi.

Perlu disadari, bahwa yang namanya usaha itu permasalahannya banyak: produk, sales, promosi, keuangan, manajerial, dan sebagainya. Bila Anda canggih membuat produk, fokuslah di produk. Untuk sales, bisa cari orang lain, begitu juga untuk bagian marketing promosi atau bagian keuangan, juga manajemen yang mengoperasikan harian.

Apakah orang lain itu sebagai karyawan, atau sebagai partner, itu tergantung kebutuhan. Apabila Anda bisa membuat produk tapi tidak punya modal, maka bisa mengajak orang lain menjadi partner pemodal, yang kemudian bisa jadi bagian keuangan atau mungkin manajemen. Apabila Anda punya ambisi besar bahwa produknya harus dipasarkan dengan hebat, maka Anda harus mencari orang bagian sales atau promosi yang handal.

Masalah kemudian muncul, sebagai start-up atau usaha baru, apakah punya kemampuan untuk membayar staf handal, toh dimulai dari produk dan bukan dari kapital yang besar. Maka kalau tidak mampu membayar mahal adalah caranya dengan memberikan bonus penjualan kalau berhasil. Kalau merasa kurang, ya Anda bisa merelakan sebagian saham yang ada untuk diberikan ke personel tersebut. Artinya selalu ada risiko yang dikorbankan. Namun demikian, untuk hasil maksimal risiko itu bisa menjadi manfaat, karena dengan demikian pilar-pilar usaha itu dibangun dari kepala-kepala yang saling melengkapi dan menguatkan perusahaan.

Dengan berkumpulnya orang berbagai kekuatan, maka ketika ada pembicaraan soal produk maka yang ahli di bidang produk itu akan menjadi leader dan dominan. Lainnya memberikan masukan. Sementara bila membicarakan soal cara sales dan promosi yang benar, maka yang pintar di bidang itu sebaliknya menjadi dominan dan lainnya men-support dengan masukan-masukan proporsional.

Kita ingat bagaimana sukses Google. Ketika 4 tahun mereka berdiri, dimana kedua orang hebat di produk search engine Sergei Brin dan Larry Page ternyata tidak menghasilkan revenue pada awalnya.

Sampai suatu kali, ketemulah dengan doktor Eric Schmidt yang ahli di bisnis manajemen, melengkapinya. Maka dibuatlah model penjualan yang unik dengan membuat tambahan halaman untuk pemasang iklan teks dengan algoritma canggih yang dibuat Brin dan Page. Barulah Google melesat dan akhirnya sukses mendatangkan user sekaligus advertiser (pemasang iklan). Meski sebagai pendiri, Brin dan Page rela memberikan kursi CEO kepada Schmidt sebelum dia keluar setelah belasan tahun bergabung.

Banyak contoh lain dalam perusahaan, yang sukses karena mereka terdiri dari orang-orang dengan minat yang sama, tapi memiliki spesifikasi yang berbeda-beda yang masing-masing memberikan kontribusi untuk menguatkan usahanya. Jadi, jangan terjebak bahwa teman dari komunitas yang sama, belum tentu sesuai untuk kerjasama membuat usaha. Jangan-jangan, cocoknya hanya sebagai teman baik, bukan partner usaha yang pas.

Mengutip kata-kata Don Tapscotts, penulis buku terkenal Grown up Digital asal Kanada yang mengatakan, how collaboration making everything. Bahwa dibutuhkan kolaborasi dari berbagai sisi yang saling melengkapi untuk menghasilkan sesuatu yang signifikan. Dari situ, kita bisa petik bahwa kuncinya untuk membangun dan menyelesaikan permasalahan perusahaan, sebaiknya terdiri dari orang-orang yang pemikiran dan kapasitasnya saling melengkapi. ***

Penulis adalah COO KLN Network, Sekjen APJII, dan Penggerak Konten Lokal KlikIndonesia

Sumber: 

Merdeka.com - 
Reporter : Sapto Anggoro | Kamis, 8 Mei 2014 07:00